Pengikut

Sabtu, 21 November 2009

Tradisi Lebaran


Semua orang pasti tahu bahwa Indonesia memiliki banyak suku yang beranekaragam diantaranya suku Sunda, Jawa, Batak, Betawi, Minangkabau, Bali, Aceh, Melayu, Madura, dll. Keberanekaragaman tersebut membuat Indonesia menjadi kaya akan budaya.

Berbicara tentang budaya, ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri ataupun setelah hari raya ada berberapa daerah yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan unik zaman dahulu yang sering dilakukan dan telah menjadi budaya sampai saat ini. Seperti Madura, Betawi, dan Sunda.

Menurut artikel yang saya baca dan beberapa informasi yang saya dapat, ketika menjelang lebaran biasanya orang-orang Madura yang sedang merantau melakukan Toron yaitu pulang kampung, tapi pulang kampung mereka berbeda dengan yang lain pada umumnya. Pulang kampung yang biasanya dilakukan sebelum lebaran berbeda dengan orang-orang Madura yang melakukan pulang kampung setelah lebaran, biasanya lima atau enam hari setelah lebaran karena selain menghindari kemacetan arus mudik, mereka juga ingin menghadiri Tellasan Topa’ atau lebaran ketupat yang menjadi puncak perayaan lebaran yang terjadi pada hari ke-7.

Pada acara tellasan topa’ biasanya warga madura yang tinggal di daerah pesisir pantai berbaur ke laut untuk naik perahu dalam rangka merayakan tellasan topa’ tersebut. Dan bagi warga yang jauh dari pesisir pantai biasanya mereka mengunjungi tempat wisata laut yang ada di sekitar Dikarenakan hari lebaran ke-7 adalah lebaran ketupat, biasanya para ibu-ibu mempunyai tradisi saling antar ketupat ke tetangga. Dan bukan hanya itu, ternyata lebaran ketupat bukan hanya warga Madura saja yang bisa merayakan tetapi hewan ternak yang ada di sana pun ikut berlebaran ketupat seperti kambing dan sapi. Biasanya ketupat dikalungkan di leher hewan-hewan ternak kemudian dilepas dan anak-anak berebut mengejarnya untuk mendapatkan ketupat yang ada di leher hewan-hewan ternak tersebut. Itu adalah tradisi yang sudah turun temurun.

Ada juga tradisi yang sering dilakukan pada 10 malam ganjil terakhir di bulan Ramadhan oleh warga antar kampung yaitu pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Pada malam-malam tersebut mereka masak masakan yang enak-enak untuk menjamu para tamu yang datang dari kampung sebelah maupun dari kampung yang lainnya pada saat berbuka puasa dan dilanjutkan dengan makan-makan ba’da tarawih. Itu dilakukan secara bergiliran, misalnya malam ganjil pertama pada 10 malam terakhir di bulan ramadhan, kampung A mendatangi kampung B, kampung B mendatangi kampung A, dan seterusnya. Tradisi ini lebih banyak dilakukan oleh warga yang berada di daerah pesisir. Orang-orang Madura menyebut malam ke-21 yaitu salekoran, 23 tellolekoran, 25 sagemi’an, 27 pettolekoran dan 29 yaitu sangalekoran. Begitulah orang-orang Madura menyebut malam-malam ganjil terakhir.

Menurut pengamatan saya, orang-orang Sunda dan orang-orang Betawi memiliki kesamaan ketika menjelang hari raya. Pasalnya, seperti yang kita tahu H-3 sampai H-1 lebaran orang-orang sibuk melakukan mudik tapi orang-orang Sunda dan Betawi malah sibuk nganteuran (Sunda) atau sorogan (Betawi), kegiatan yang sama tapi hanya namanya saja yang berbeda yaitu kegiatan mengantar makanan menggunakan rantang kepada yang dituakan seperti orang tua dan kakak baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, itu pun berlaku hanya untuk yang sudah menikah saja mungkin itu adalah bukti bakti anak kepada orang tua walaupun sudah menikah. Biasanya makanan yang dibawa dalam rantang berisi nasi, sayur, kue, dan satu ekor ayam panggang atau yang sering disebut oleh orang-orang Sunda dan Betawi yaitu Bekakak. Ada juga yang memberi mentahnya saja tanpa dimasak terlebih dahulu seperti beras, satu ekor ayam, sayuran, dan bumbu dapur. Tradisi itu sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak karena setiap mengantar makanan kepada yang dituakan biasanya anak-anak akan ikut agar diiberi uang walaupun kecilnya hanya 5 ribu, itu akan membuat mereka senang. Tapi tidak jarang anak-anak seumuran saya pun masih saja diberi uang padahal saya sudah kuliah, kadang-kadang malu tapi tidak enak rasanya kalau ditolak.

Selain itu, ada tradisi yang sering dilakukan sampai saat ini yaitu ngaduk dodol atau membuat dodol. Pastinya semua orang tahu makanan yang satu itu. Biasanya ngaduk dodol dilakukan beberpa hari sebelum lebaran untuk menjamu para tamu yang datang ke rumah pada saat lebaran dan sedikit dibagikan ke tetangga. Ternyata proses pembutan dodol itu tidak mudah dan juga tidak cepat butuh waktu 2 hari untuk itu semua. Satu hari untuk belanja bahan-bahan dan hari berikutnya adalah proses pembuatan. Ternyata pembuatan dodol bukan hanya di Betawi saja, orang-orang Sunda pun memiliki tradisi yang sama pada saat menjelang lebaran tapi sekarang-sekarang ini sudah jarang orang-orang membuat dodol di rumah sendiri karena prosesnya yang lama dan lumayan repot. Mereka lebih memilih membeli atau memesan karena lebih praktis.

Setelah saya amati, ternyata orang-orang Sunda pun mempunyai kesamaan tradisi dengan orang-orang Madura ketika menjelang lebaran pada 10 malam ganjil terakhir di bulan ramadhan yaitu ketika malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Pada malam-malam tersebut biasanya orang-orang Sunda membawa makanan ketika pergi tarawih dan melakukan tahlilian di masjid ba’da tarawih. Bedanya orang Madura hanya acara buka puasa bersama saja tanpa ada tahlilan dan namanya pun hampir sama hanya saja karena berbeda bahasa maka berbeda pula dalam penyebutannya. Dalam bahasa Sunda malam 21 disebut salikuran, 23 dualikur, 25 tilulikur, 27 opatlikur, dan 29 limalikur. Mungkin pada hakikatnya sama hanya saja berbeda cara dan penyebutannya saja.

Nah, itulah kebiasaan-kebiasaan unik orang-orang Madura, Betawi, dan Sunda ketika menjelang lebaran atau pun ketika lebaran tiba. Kebiasaan atau tradisi yang telah membudaya, pada hakikatnya sama yaitu hanya untuk menyatukan kebersamaan dan mempererat tali silaturahmi antar manusia.

0 komentar:

Posting Komentar